Jumat, 24 Oktober 2008

Cinta Tanpa Syarat..... Adakah?

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Indah bukan karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di atas? Bagaimana kesan anda saat membacanya? Romantis? Muluk-muluk? Gombal? Well, tiap orang punya penilaian masing-masing. Bagi saya sendiri puisi itu menggambarkan suatu cinta yang tak bersyarat. Dan, sebagaimana yang tersurat dalam judul artikel ini, yang ingin dibahas adalah: Adakah cinta semacam itu?

Pada mulanya saya menjawab: Tidak ada, dan tak masuk akal cinta semacam itu! Yang namanya cinta pasti bersyarat! It’s always take and give. Atau jika faktor "take and give tak jadi pertimbangan, setidaknya ada prerequisites yang membuat seseorang mencintai seseorang/sesuatu.

Ketika anda memilih pasangan hidup, mungkin anda akan mempertimbangkan satu atau beberapa faktor dari 4-B (Brain, Beauty, Behavior, Bank Account). Atau jika anda berorientasi heteroseksual, anda akan menjauh bila ada seseorang berjenis kelamin sama menyatakan cintanya kepada anda.
Kemudian ada seorang kawan mengatakan bahwa cinta antar pasangan kekasih selalu bersyarat, tapi cinta orang tua kepada anaknya pasti tidak bersyarat. Benarkah begitu? Coba perhatikan kata “anaknya” tadi, tidakkah itu sudah suatu prayarat untuk cinta?

Dan seorang hamba Tuhan mengatakan bahwa cinta yang paling sejati tanpa syarat adalah cinta Tuhan kepada hambanya! Saya hanya tersenyum dan berucap: “yeah right! Dia cuma ngasih surga nan nikmat buat insan-insan penurut, tapi… if you disobey Him, He will throw you into the dungeon of fire, called hell! Wow, betul-betul “tanpa syarat” ya?”

Lantas, apakah saya apatis akan konsep cinta yang tulus, tanpa syarat dan ketentuan berlaku (kayak iklan operator ponsel)? Tunggu dulu… saya pernah menyaksikan seorang suami yang merawat dan menemani istrinya yang sakit keras, hingga tak bisa menjalani kewajibannya sebagai istri, kecantikannya pun hilang akibat penyakitnya. Namun sang suami tetap setia mendampingi.

Adapula seorang kenalan saya yang sudah diperlakukan begitu buruk oleh pasangannya namun cintanya seolah tak pernah luntur dan ia tetap memaafkan dan menolak meninggalkan sang tercinta.

Setelah melihat beberapa contoh kasus unconditional love, termasuk dua contoh di atas, saya menyimpulkan bahwa cinta PADA AWALNYA selalu bersyarat, kemudian seiring berjalannya waktu, cinta bersyarat tersebut bisa BERTRANSFORMASI menuju cinta tak bersyarat. Cinta tak selalu mempedulikan urusan “take and give”, namun selalu saja ada “rerequsites” untuk memungkinkan tumbuhnya cinta semacam itu.
Jadi sekarang, tergantung pada kita masing-masing, apakah sudah cukup puas dengan cinta bersyarat, atau mau mentransformasikannya menjadi tak peduli syarat. Atau jangan-jangan anda sudah beruntung karena telah mendapatkan cinta yang sederhana seperti yang dilantunkan puisi di awal pembuka artikel ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar