Senin, 15 Juni 2009

Press Release Gaji 13

Pemberian GajilPensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas dalam Tahun Anggaran 2009
kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima PensiunlTunjangan

1. Dalam rangka usaha Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan meringankan
biaya hidup Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka dalam Tahun Anggaran 2009 juga
diberikan tambahan penghasilan berupa gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas.

2. Pemberian gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas dalam Tahun Anggaran 2009
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pemberian
GajilPensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas dalam Tahun Anggaran 2009 kepada
Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan.

3. Terhadap Peraturan Pemerintah di atas, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perbendaharaan telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tanggal
12 Juni 2009 nomor PER-25/PB/2009 yang berisi ketentuan pembayaran
gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas dalam Tahun Anggaran 2009.

4. Hal-hal penting berkaitan dengan pemberian gajilpensiun/tunjangan bulan ketiga belas
dalam Tahun Anggaran 2009 antara lain:
a. Penerima gajilpensiun/tunjangan bulan ketiga belas dalam Tahun Anggaran 2009
adalah Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan.
b. Pemberian gajilpensiun/tunjangan bulan ketiga belas dimaksud dibayarkan pada
bulan Juni 2009, paling lambat pada bulan Juli 2009.
c. Anggaran yang diperlukan untuk pembayaran gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga
belas tersebut dibebankan pad a :
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi :
a) Pegawai Negeri Sipil Pusat;
b) Anggota TNI;
c) Anggota POLRI;
d) Penerima pensiun;
e) Penerima tunjangan;
f) Pejabat Negara selain Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, dan
Wakil Bupati/Wakil Walikota;
g) Ketua, Wakil Ketua, Anggota Dewan Perwakilan Daerah; dan
h) Pejabat lain yang hak keuangan/administratifnya disetarakan/setingkat Menteri.
(2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bagi :
a) Pegawai Negeri Sipil Daerah;
b) Gubernur dan Wakil Gubernur;
c) Bupati/Walikota; dan
d) Wakil Bupati/Wakil Walikota.


Jakarta, 12 Juni 2009
Dirjen Perbendaharaan,




Herry Purnomo
Baca selengkapnya..

KEWAJIBAN MEMILIH MEMIMPIN

Sunan Gunung Djati (15 Juni 2009) Memilih pemimpin dalam Islam merupakan kewajiban yang tidak ada sunahnya. Memilih pemimpin merupakan kewajiban yang tidak terikat oleh jumlah apakah sedang sendiri, berdua, atau bertiga. Tidak terikat juga oleh waktu, apakah lama atau sebentar dalam memimpin. Sifat kepemimpinan harus ada walau saat sedang sendiri. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw. bahwa, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (kullukum ra`in, wakullukum mas-uulun `an ra`iyyatihi).
Memimpin diri sendiri menandakan adanya faktor-faktor dalam diri manusia, yakni hati, kata, dan perbuatan harus selaras, serasi, dan sejalan. Dalam doktrin dikemukakan bahwa pemimpin di antara tiga faktor tersebut adalah qalb (hati, dalam dimensi rohani). Demikian juga saat kita berdua sebagaimana dalam rumah tangga, “bahwa laki-laki jadi pemimpin perempuan” (arrijaalu qawwamuuna `alannisa-a, Q.S. 4:34). Hal yang sama bila kita sedang bertiga sebagaimana diungkapkan hadis bahwa “bila kamu berjalan bertiga, hendaklah kalian menjadikan salah seorang di antaramu sebagai pemimpin” (Riwayat Abu Dawud).
Pada zaman modern, aturan memilih pemimpin terkait dengan siklus waktu yang telah disepakati. Akan halnya bangsa Indonesia, siklus pergantian pemimpin nasional, baik para pembuat undang-undang (legislatif) maupun pemimpin utama pelaksana kebijakan publik adalah lima tahun sekali.
Dalam keadaan bagaimanapun, memilih pemimpin hendaklah orang yang terbaik di antara kelompok kebersamaan. Syarat beriman dan bertakwa sebagaimana hasil ijtima ulama se-Indonesia di Padangpanjang, merupakan hal yang sangat pokok. Syarat utama lainnya adalah jujur memegang peraturan perundang-undangan dapat dipercaya atas kemampuannya memimpin, baik jasmani maupun rohaninya, transparan (tidak selingkuh) dalam pertanggungjawaban atas segala yang diperbuatnya, cerdas, serta cepat memahami persoalan lantaran keluasan ilmu dan keterampilan berpikirnya. Semua syarat tersebut merupakan karakter pemimpin yang dapat membawa kesejahteraan secara berkelanjutan.
Peringkat tertinggi dalam memenuhi persyaratan pemimpin tersebut, arahnya dapat beragam . Cerdas dalam berpikir generik sehingga cepat membuat generalisasi dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarakat yang bersifat general, tentu berbeda ragam cerdasnya dengan berpikir spesifik tentang keterampilan teknis bidang tertentu. Pribadi yang memenuhi syarat pemimpin bangsa tidak sama dengan pemimpin yang memenuhi persyaratan bagi penggembala sapi. Cocok memimpin pabrik belum tentu memenuhi persyaratan cerdas dalam memimpin perdagangan. Ajaran juga membedakan antara syarat pemimpin perang, yakni luas ilmu dan kuat fisik (basthatan fil ilmi wal jismi, 2:246) dengan pemimpin pembuatan perundang-undangan, yakni iman dan takwa (4:138-140). Kategorisasi jenis persyaratan bagi keragaman corak kepemimpinan tersebut, demikian ditegaskan sehingga Rasulullah saw. dalam keadaan tertentu memberikan isyarat bahwa orang durhaka pun kadangkala dapat memperkuat agama (kanaddiinu yu-ayyadu birajulin faajirin).
Ibn Taimiyah sejalan dengan isyarat Rasulullah saw. tersebut, sempat mengatakan, lebih baik ada pemimpin dari orang durhaka daripada sama sekali tidak ada pemimpin. Pilihannya adalah yang terbaik, sebagaimana diungkapkan Rasulullah saw., “Bila Anda memilih seseorang jadi pemimpin, padahal Anda tahu ada orang yang lebih baik daripadanya, maka sungguh Anda telah mengkhianati Allah, Rasulullah saw., dan orang-orang yang beriman.”
Tidak dapat dimungkiri bahwa pemimpin merupakan representasi bangsa yang dipimpin, atau representasi kelompok rezim, partai, golongan, atau kelompoknya. Perbedaannya, bila si pemimpin merupakan representasi masyarakat yang dipimpin, sang pemimpin tersebut muncul dari dan dengan tradisi dan budaya masyarakat, kabilah, suku, atau bangsa tersebut. Ketidaksesuaian produk kebijakan dengan tradisi atau budaya masyarakat bangsa yang dipimpinnya cenderung akan mendapat penolakan betapa pun rasionalnya kebijakan tersebut.
Manakala pemimpin tersebut merupakan representasi kelompoknya saja, sangat mungkin penghayatan terhadap tradisi dan budaya masyarakat atau bangsa yang dipimpinnya mempunyai jarak. Hal ini secara beruntun akan berakibat keluarnya kebijakan atau malah peraturan-peraturan yang berbeda dan mungkin sekali bertentangan dengan tradisi dan budaya masyarakat yang dipimpinnya.
Dalam kaitan inilah pantas direnungkan ucapan yang sempat disampaikan oleh Abu Bakar Shiddieq yang menyatakan “al a-immah liquraisy”, kepemimpinan itu bagi orang keturunan Quraisy. Ucapan itu dikeluarkan saat terjadi ketegangan antara kaum Anshar dan Muhajirin yang memperebutkan kekhalifahan sesaat setelah Rasulullah saw. wafat. Reputasi orang Madinah (kaum Anshar) yang demikian jauh di bawah reputasi orang Mekah (kaum Muhajirin) dalam menjelajah daerah Arab, baik dalam ranah kedaerahan, etnis, budaya, perdagangan, dan keagamaan menyiratkan bahwa sebaiknya pemimpin itu diangkat dari mereka yang sudah sangat mengenal tradisi, budaya, atau adat-istiadat para penduduknya.
Ibn Abbas sempat menegur Ali bin Abi Thalib tatkala yang terakhir ini mengikuti pemilihan khalifah. Kalau zaman sekarang, kira-kira pikiran Ibn Abbas itu “lebih baik tidak memilih (baca: golput) daripada ikut pemilihan khalifah yang dimenangkan Utsman bin Affan. Sahabat Ali bin Abi Thalib merespons teguran tersebut dengan ungkapan ’Kaana amran `adhiiman min umuuril Islam lam araa linafsiy alkhuruuja minhu’, (memilih pemimpin itu adalah urusan sangat besar dari urusan-urusan Islam, tidak ada alasan bagi saya untuk keluar –tidak memilih– dalam hal ini)”.***[Pikiran Rakyat, 13 Juni 2009]
SANUSI UWES, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati
Baca selengkapnya..

Selasa, 09 Juni 2009

KENAIKAN KELAS

Hari ini ulangan kenaikan kelas, artinya hasil dari penilaian ini akan
menjadi tolok ukur siswa kita untuk dinyatakan naik ke tingkat yang lebih
tinggi atau tetap "ngendhog" ditingkat yang sama. Seandainya tidak berhasil,
maka siswa harus mengulang selama satu tahun ditingkat yang sama, hanya
kebanyakan orang tuanya tidak mau menenrima dengan alasan malu (malu karena tidak naik kelas, bukan malu karena tidak bisa).

Alhasil orang tua banyak
yang ngotot supaya anak-anaknya dapat naik ? Dengan seribu cara mulai
meminta dengan nada biasa, meminta dengan wajah memelas, meminta dengan
datang ke rumah membawa bungkusan, meminta dengan membawa amplop , dan yang lebih ekstrim lagi meminta dengan paksa alias mengancam disertai kata-kata yangtidak pantas keluar dari mulut "seorang tua"

Akhir kata sekolah memutuskan "naksir" atau boleh naik tapi tidak boleh
sekolah ini lagi, silakan cari sekolah lain . Kemudian dibuatlah perjanjian
hitam di atas putih bahwa orang tua akan memindahkan anaknya ke sekolah lain
dan berjanji tidak akan kembali lagi.

Kenyataannya begitu sudah dapat raport tidak jadi pindah , dengan alasan
jauh, tak ada sekolah yang menerima, anaknya tak mau pindah dari sini, dan
segudang alasan lain. Kalau sudah begini bagaimana coba ? Kok enak amat
memangnya sekolah itu kamar mandi umum yang siapa saja bisa keluar masuk
dengan membayar seribu rupiah ?

Dan yang lebih ironis lagi ketika si orang tua membawa ke sekolah lain yang
status sekolahnya sama (bahkan kadang lebih bagus ), mau menerima anak-anak tersebut dengan imbalan uang masuk.

Oh My God, mau jadi apa sekolah ini kalau anak-anak dari tingkatan bawah si
sekolah sudah di (sorry: out) kok malah nongol di sekolah yang nota benenya
"bagus". Naksir (naik usir) , kasian ke sekolah yang dituju dan itu sama saja
merendahkan sekolah yang menerima, dan ini banyak terjadi di sekolah-sekolah
lain. Mengapa sekolah memberikan kebijakan (yang tidak bijak) dengan naksir,
bukankah membuat pendidikan semakin terpuruk ? dan mengapa sekolah lain mau menerima anak-anak ini.
Baca selengkapnya..